Saturday, May 20, 2017

sadiposip

Orang-orang dari 'Chineesche Kamp' untuk Batavia

Jakarta, CNN Indonesia -- Sebelum kedatangan Belanda ke wilayah Jayakarta--sekarang Jakarta pada 13 November 1596, Kampung China sudah lebih dulu ada. Kala itu, pemukiman warga Tionghoa mengelola persawahan dan penyulingan arak.

Dalam buku "Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia" karya Mona Lohanda, dikatakan orang Tionghoa pun ikut terlibat sejak awal dalam pendirian Batavia oleh Belanda. Bahkan bisa dikatakan penghuni pertama kota Batavia adalah serdadu, warga etnis Tionghoa, dan para budak yang didatangkan dari Malaka, Malabar di India, Bali, dan Sulawesi.

Dalam pembangunan Batavia, keterlibatan orang Tionghoa terlihat di hampir semua pekerjaan. Mulai dari pekerja bangunan, pembuat garam, hingga pertanian. Ada pula pekerjaan lainnya seperti pembuat kuali, panci, tungku, dan barang tembikar lainnya.

"Bisa dibilang pendiri Jakarta (salah satunya) orang-orang Tionghoa, waktu itu butuh banyak orang dalam membangun satu kota, perlu orang-orang terampil, itu ditemukan dala m figur orang-orang Tionghoa," kata sejawaran Didi Kwartanada kepada CNNIndonesia.com, pada pekan ini.

Sebagai seorang pedagang, warga Tionghoa terlibat dalam jual beli hasil produksi yang didatangkan dari China. Seperti teh, sutera, panci, jarum, payung, bakiak, sampai bahan tekstil yang kasar.

Sedangkan negeri China membutuhkan lada, rempah-rempah, dan sarang burung dari Indonesia.

Kegiatan dagang antara Batavia-Amoy di Provinsi China Selatan dilayani oleh pelayaran jukung China dari Amoy dan Kanton sejak tahun 1620 sampai awal abad ke-19.

Hubungan antara Tionghoa dan Belanda di Batavia tak melulu berjalan mulus. Tahun 1740 bahkan terjadi pembantaian yang cukup besar terhadap orang-orang Tionghoa yang dilakukan oleh Belanda.

Kala itu, kata Didit, orang Tionghoa banyak yang berdatangan dan tidak memiliki pekerjaan di Batavia. Mereka akhirnya hanya berkumpul-kumpul, dan lama kelamaan mereka mungkin melakukan tindakan kriminal, seperti merampok.

Banyaknya orang Tionghoa di Batavia, akhirnya membuat gubernur jenderal Belanda yang kala itu dijabat oleh Adriaan V alckenier membuat aturan untuk memulangkan orang-orang Tionghoa itu kembali pulang ke negaranya. Namun justru muncul gosip bahwa orang-orang Tionghoa itu tidak akan dipulangkan tetapi akan diceburkan ke laut.

Gosip itu terdengar sampai ke telinga orang-orang Tionghoa, yang akhirnya membuat mereka benci terhadap Belanda. Belanda pun merasa khawatir dan percaya bahwa orang-orang Tionghoa mulai memusuhi Belanda.

"Orang-orang Belanda panik, Gubernur Belanda mau mendahului, lalu pada bulan Oktober itu orang-orang Belanda mulai membunuhi orang-orang China, termasuk anak-anak, orang tua, perempuan, bahkan yang ada di rumah sakit juga. Pembantaian cukup besar, perkiraan 10 ribu tewas," ucap Didi.

Orang-orang Tionghoa yang lolos dari pembantaian tersebut akhirnya kabur ke Jawa Tengah. Awalnya, kata Didi mereka ingin masuk ke Banten tapi tidak diperbolehkan oleh Sultan Banten. Orang Tionghoa kemudian bergabung dengan pihak-pihak yang juga anti terhadap Belanda.

"Gabung ke pihak-pihak anti-Belanda, sinergi dua kekuatan sama-sama anti-Belanda mengakibatkan terjadinya perang geger Pacinan yang terjadi tahun 1740-1743," kata Didi.

Tahun 1828, Belanda membagi wilayah Batavia menjadi enam distrik, yaitu Stad en Voortseden, Ooster-District, Zuider-District, Zuid-en Wester-District, Wester-District, dan Chineesche Kamp.

Chineesche Kamp menjadi wilayah yang ditempati oleh orang-orang Tionghoa. Wilayahnya meliputi kawasan Glodok-Petak Sembilan-Pinangsia. Posisi komandan distrik menjadi wewenang dari Kapitan China.

Makin meningkatnya sarana angkutan dan transportasi di Batavia, membuat penduduk Batavia bebas bergerak dan berpergian ke mana saja. Hal itu membuat Belanda mengeluarkan passenstelsel atau sistem surat jalan.

Tujuannya adalah untuk mempermudah Belanda dalam mengawasi gerak langkah para penduduk.

Surat pas tersebut juga diberlakukan bagi orang Tionghoa. Setiap warga yang akan berpergian ke wilayah di luar distriknya harus mempunyai surat jalan atau surat pas.

Untuk keperluan tersebut yang bersangkutan harus meminta surat pas kepada komandan distrik. Setiap surat pas yang dikeluarkan dikenakan biaya 50 sen atau kadang 1 gulden kalau ada biaya tambahan tidak resmi.

Bagi orang Tionghoa yang akan mengumpulkan hasil produk pertanian penduduk desa juga harus membawa surat jalan.

Mengawasi Gerak-Gerik

Walaupun niat awal Belanda adalah untuk mengawasi gerak-gerik penduduk, tetapi tersembunyi niat untuk mencegah hubungan komunikasi yang intens antara warga Tionghoa dengan penduduk setempat.

Selain aturan surat pas, warga tionghoa juga dikenakan aturan soal tempat tinggal yang sudah diatur oleh pemerintah yang disebut wijkenstelsel. Awalnya, orang-orang Tionghoa tidak terkena aturan tentang tempat tinggal.

Namun akibat kerusuhan yang terjadi pada Oktober 1740, gubernur jenderal Belanda mengeluarkan perintah agar semua warga Tionghoa harus tinggal di luar tembok kota, yaitu di kawasan Glodok. "Aturan itu dibuat agar orang Tionghoa tidak bisa bercampur dengan pribumi. Belanda trauma dengan perang geger Pacinan," ujar Didi.

Namun selama proses pembangunan dilakukan, percampuran budaya pun terjadi. Di antaranya adalah etnis Tionghoa dengan Betawi, yang membaur di Batavia. (asa)

This article forwarded via FORWARD RSS - http://forward.fullcontentrss.com If you no longer wish to receive email from Forward RSS, click here to unsubscribe: http://forward.fullcontentrss.com/unsubscribe.php

Subscribe to this Blog via Email :